UN Tak Jadi Dihapus, Tugas Guru Mendidikkan Kejujuran Lebih Berat

2016-12-13_20-57-18

ArtikelSDMT.com – Rabu (7/12/2016) Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan keputusan pemerintah untuk membatalkan moratorium ujian nasional. Padahal sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Efendi sempat meniupkan angin segar penghapusan ujian nasional ini dan diganti ujian yang didesentralisasi ke daerah tingkat kabupaten dan kotamadya.
 
Ada sejumlah alasan Mendikbud, yang merupakan salah satu ketua PP Muhammadiyah ini, mengapa UN perlu dihapus, yaitu antara lain:
1. UN tidak berimplikasi sama sekali dan secara langsung bagi peserta UN untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, karena PTN menggunakan SNMPTN.
2. Menjelang UN semua sekolah memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan. Sehingga mata pelajaran di luar prioritas itu tidak dianggap penting. Orientasi pada UN akan membuat reduksi mata pelajaran lain. Fokus anak didik disiapkan hanya untuk UN. Yang lain dianggap enggak penting.
3. Berimplikasi pada guru, guru pengajar bukan UN dianggap kelas 2. Guru yang tidak mengajar UN merasa kurang dihargai.
4. Pertimbangan lain soal digunakannya pilihan ganda untuk menguji siswa. Pilihan ganda atau multiple choice itu tidak mengajarkan siswa berpikir kritis. Pilihan ganda dalam UN hanya membuat siswa nengenal, mengingat, dan mengaplikasikan. Tapi tidak melatih siswa berpikir kritis. Kalau kita ingin siapkan generasi berpikir tingkat tinggi maka kalau tes pakai multiple choice tidak akan bisa ketemu.
5. Dari sisi hukum Muhadjir berpegangan pada Putusan MA No. 2596 K/PDT/2008 pada 14 September 2009. Putusan tersebut memerintahkan untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN. UN juga dianggap hanya menguji ranah kognitif dan beberapa mata pelajaran saja. Akibatnya cenderung mengesampingkan hakikat pendidikan untuk membangun karakter, perilaku, dan kompetensi.
6. Pendidikan dengan standar nasional harus tetap dilaksanakan. Dengan basis standar nasional yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan. Ijazah kredibel tetap diperlukan. Ijazah akan tetap kredibel. Bentuk evaluasi UN itu pihaknya menyiapkan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). USBN ini akan mengakomodir semua materi pelajaran.
 
Namun, angin segar yang dibawa mantan Rektor Unmuh Malang ini kandas di tangan Wapres JK saat rapat terbatas dengan Presiden Jokowi. JK mengemukakan sejumlah alasan perlunya UN ini digelar:
1. UN dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan dan evaluasinya. Tanpa ujian nasional bagaimana bisa mendorong bahwa kita pada tingkat berapa, dan tanpa ujian nasional pemerintah tidak dapat mengetahui acuan peningkatan mutu pendidikan nasional. DIperlukan soal yang sama untuk semua daerah, sehingga diketahui sampai mana tingkat capaian masing-masing daerah.
2. Hampir semua negara di Asia melaksanakan ujian nasional dengan ketat, seperti di ASEAN, China, India, Korea.
3. Tanpa UN, daya saing dan semangat anak-anak untuk belajar akan kendor.
 
Ujian Nasional dan Pendidikan Karakter
 
Ada benarnya alasan Wapres JK bahwa UN dapat dijadikan tolok ukur pendidikan secara nasional, dan dapat memacu semangat belajar siswa. Namun dampak UN di lapangan tidak simpel untuk dijelaskan. Sejumlah alasan Mendikbud diatas bisa menjadi gambaran, bagaimana UN menjadikan hanya beberapa pelajaran saja yang dianggap penting, yang lain kelas dua. Pun aspek yang dieksplor hanya kognitif dan pemguasaan konsep saja, dimana aspek ketrampilan dan sikap diabaikan.
 
Dalam prakteknya, demi mengejar nilai optimal UN yang berimplikasi pada meningkatnya gengsi sekolah, tidak jarang sekolah mengorbankan nilai integritas dan kejujuran siswa. Sudah bukan rahasia lagi banyak sekolah yang mengatur bagaimana siswa-siswa peserta UN-nya dapat “bekerjasama”, dimana sejumlah murid diberi tanggung jawab “membimbing” teman-temannya yang dianggap lebih lemah akademiknya. Bahkan, ditemukan banyak kasus bagaimana guru-guru juga terlibat aktif menyuplai “bantuan” jawaban untuk menolong siswanya memperoleh nilai maksimum.
 
Keadaan yang tergambar terakhir ini sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan karena menganggap perilaku tidak jujur ini bisa ditempuh ketika dalam keadaan “darurat perang nilai” antar sekolah. Dan UN biang keroknya. Yaitu ujian yang disetting untuk membandingkan gengsi satu sekolah dengan lainnya.
 
SDMT Ponorogo yang memiliki tagline “Cerdas Berkarakter” ini tentu memandang UN sebagai suatu tantangan  yang tidak ringan. Di satu sisi, SDMT harus bisa bersaing dengan sekolah-sekolah lain dalam mencapai nilai ujian nasional yang terbaik. Tapi disisi lain, membiarkan dan bahkan memfasilitasi siswa untuk tidak jujur dalam UN dapat menghancurkan visi terbesar sekolah yaitu penanaman karakter. Justru dalam keadaan yang sulit ini, penanaman karakter siswa tengah diuji. 
 
Maka, jalan satu-satunya untuk mencapai dua tujuan sekaligus yaitu menjadi sekolah yang unggul UN sekaligus pendidikan karakternya adalah dengan persiapan maksimum menghadapi UN baik kemampuan akademis, bimbingan spiritual dan penguataan kejujuran, integritas dan karakter siswa. (ISB)
 

Related Blogs

Leave us a Comment