Dakwah Walisongo di Era Modern
Perlu “gaya komunikasi baru” agar nilai Islam diterima lebih dalam dalam masyarakat kita. Tentunya gaya komunikasi yang lebih menetralisir nuansa kearab-araban, tapi tidak pula kental dgn nuansa nusantara. Kiranya panggilan “akhowat, ikhwan, akhi, ukhti” itu tidak perlu dibudayakan. Karena semacam ini murni bahasa Arab, sekalipun mengakrabkan dgn bahasa Alquran.Yang perlu dibudayakan itu adalah walimah aqiqah, walimah safar, mudhorobah (bagi hasil), mubaya’ah (jual beli), dst.. karena ada syariatnya.
Ingat! Kita mengakui, masih banyak PR ditinggalkan oleh walisongo.
Kalau walisongo datang melebur dalam nuansa tradisi kala itu, maka dakwah Islam kali ini tentu musti bisa melebur dalam “tradisi” modern saat ini.Saat itu orang gemar wayang, karena film di zaman itu adalah wayang. Sementara film di zaman ini adalah film di layar elektronik. Banyak point perkembangan Islam “baru” yg tidak dihasilkan oleh Islam tradisional, seperti budaya Assalamualaikum, jilbab, terus ke hijab, pengenalan ekonomi syariah, bank syariah, hotel syariah, pengenalan ‘paket praktis’ belajar Islam (belajar cepat baca Quran, praktek ibadah, konsep dasar Islam, dst).
Satu point penting agar dakwah ini produktif dan tidak berpolemik, maka kiranya para da’i itu menghindari hal khilafiyah (berpotensi konflik). Falsafah cahaya mungkin bisa digunakan, yaitu bahwa kegelapan tidak bisa dihilangkan, tapi cukup datangkan cahaya. Berhenti menuduh itu bid’ah, itu syirik, itu khurofat, tapi mulai buatlah program baru, budaya baru, kebiasaan baru yg memang disyariatkan. Setiap orang itu tidak punya banyak waktu, jika ada aktivitas baru maka aktivitas lama otomatis ditinggalkan. Cukup itu saja.
Tirulah “orang sekuler”. Mereka tidak pernah mencaci maki kebiasan anak muslim mengaji bakda maghrib, tapi cukup bikin acara kartun di TV yg menarik di jam yg sama. Simpel kan.. suwung (sepi) sekarang semua masjid/mushola.
Kita gunakan pola semacam ini. PR kita. (ISB)