Dua Potong Celana
Siang itu emak baru pulang dari kebun belakang rumah, menjinjing serinjing ketela jinten. Wajahnya yang hitam semakin mengkilap sebab terpaan matahari terik di atas pegunungan pacitan ini.
“Wulan, sudah masak?”
“Sudah, juga sayur buat bapak”
“baguslah. Sekarang kamu kupas ketela ini ya, mau emak bikin gethuk untuk kita kirim ke rombongan orang yang sedang membuat aliran air” tanganku segera cekatan mengambil pisau dan mengupasinya. Pegunungan pacitan yang teduh, meski panas terik matahari di atas sana, namun hawa kesejukan masih terasa. Aku begitu betah berada di dusun ini. Meski jauh dari toko-toko dan keramaian, tapi di sini diliputi ketenangan yang tak akan pernah ku dapat di kota selama aku menimba ilmu. Pacitan memang kota pegunungan, sebuah kota kecil yang terletak di bagian selatan jawa timur dengan banyak wisatanya, di kelilingi oleh pantai-pantai dan goa. Tak heran bila akhirnya kota kelahiranku ini dijuluki kota 1001 Goa. Meski belum terkenal halnya kutha atau sanur di bali, namun bagiku pantai teleng ria, klayar ataupun soge di pacitan yang paling indah.
“Hampir saja emak lupa. Tolong kamu ambil bingkisan yang emak taruh di meja dalam” tanpa banyak tanya aku segera mencarinya.
“Kresek warna hitam ini ya mak?”
“Iya” sahut emak dari luar.
“Apa ini mak? Dari siapa?”
“Buka saja. mak juga belum tahu isinya”
Ku buka bingkisan yang di bungkus dengan kertas koran itu.
“Celana jeans mak. Waah bagus, kainnya juga lembut dan adem rasanya kalau di pakai”
“Itu dari Yu Sari, teman emak di perantauan dulu. Oleh-oleh buat kamu katanya. Dia baru pulang dari tembilahan minggu lalu”
“Baik banget ya mak, Yu Sari itu”
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kupandangi 2 potong celana berlabel hermes itu. Ada suatu rasa kebimbangan. “Beneran ini untuk Wulan ya mak?”
Iya. Untuk siapa lagi. Anak emak kan cuma kamu yang perempuan. Masa mau di kasihkan ke abangmu Rizal, mana muat dia. Yu Sari itu sudah menganggapmu seperti anak sendiri aku mengangguk. Kembali aku menyelesaikan dari mengupas ketela.
***
Bila malam seperti ini, rumah-rumah di dusun ini sehabis magrib pintu sudah tertutup. Yang ada hanya suara televisi dan canda tawa di dalam rumah. Juga dinginnya angin malam yang membuat menggigil. Aku masih berkutat di depan laptop. Menyelesaikan tugas kuliah. Waktu yang sangat tepat untuk mengerjakan tugas di tempat seperti ini. Tiba-tiba aku teringat pada 2 potong celana yang sekarang tergeletak di atas tempat tidurku. Kupandangi dengan gamang. Dengan segala rasa kebimbangan antara ingin dan janji. Ku tutup laptopku. Membawa 2 potong celana itu ke depan tempat emak dan bapak sedang menonton tipi sambil menikmati gethuk.
“Mak, celana ini Wulan kasihkan untuk Wita saja ya. Kalau untuk Wulan, pas badan”
Emak terhenyak memandangku.
“Lha ya jangan. Yang dikasih kan kamu, bukan Wita, adik keponakanmu itu. Kamu tidak menghargai pemberian orang kalau seperti itu”
“Tapi mak, Wulan gak bisa pakai celana ini. Wulan sudah janji sama diri Wulan sendiri”
“Janji apa? Aneh-aneh saja kamu. Lagipula celana itu sangat bagus kalau kamu pakai. Kamu semakin cantik. Mahal lho harganya, emak belum tentu bisa membelikannya dengan harga segitu hanya untuk sepotong celana. Sudahlah, itu pemberian untukmu. Jangan dikasihkan orang lain”
Aku hanya bisa tertunduk, dan membawa celana itu kembali ke kamar. Disaat niat ini terpancang oleh keyakinan dalam hati, namun godaan itu senantiasa berusaha untuk menggoyahkan keteguhan yang berusaha ku bangun. Keadaan, lingkungan yang tidak sejalan pada apa yang ku inginkan.
Lebaran kemarin akupun menemui protes yang sama dari emak. Sudah menjadi kebiasaan kami, seperti halnya umat islam lainnya. Seluruh penduduk di dusun ini datang ke Langgar untuk menjalankan ibadah sholat ied. Menyambut kemenangan di hari yang fitri. Langgar di sini hanya ada satu, dan itupun sangat sederhana. Tidak ada sekat untuk laki-laki dan perempuan. Sehabis sholat ied, sesuai kebiasaan kami berkeliling memutar untuk bermaafan dan bersalam-salaman. Tak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, semua berbaur menjadi satu. Tiba saatnya bersalaman kepada kaum lelaki, di belakang emak, kusambut uluran-uluran tangan itu hanya dengan tangkupan kedua tangan di depan. Sebenarnya aku merasa sangat asing dan sendiri, semua orang bersalaman seperti biasa. Namun niat dan keyakinan tetaplah tidak boleh di langgar. Seusai sholat ied, ketika kami menyantap menu lebaran, emak menyampaikan protesnya.
“Wulan, kamu kenapa sih. Semenjak kuliah di kota kok semakin aneh. Di masjid tadi, emak malu nduk. Kenapa kamu tidak mau salaman dengan orang-orang lelaki itu. Mereka ngomongin kamu, dikiranya kamu sombong. Menganggap mereka itu apa najis, kok ya salaman gitu aja nggak mau” pandangan emak tajam menatapku.
Emak, Wulan hanya ingin jadi wanita yang baik. Itu saja
Wanita yang baik bagaimana. Itukan hanya salaman nduk, apa susahnya?
Wulan tahu mak, itu hanya salaman. Tapi hanya itu dapat merupakan hal yang tak pantas
Halah, kamu ada-ada saja. Kamu memakai jilbab, emak biarkan. Tapi tolong lihat keadaan nduk, kita ini di kampung, tidak biasa dengan hal seperti itu
Maafkan Wulan mak. Wulan tetap pada prinsip, apapun kata orang Wulan terima. Karena Wulan berusaha taat pada perintah Yang Memberi kita Kehidupan ini mak. Ini juga untuk emak dan bapak kelak
Kamu kalau di bilangin ngeyel sama orang tua
Aku hanya tertunduk, mengaduk-aduk sisa makananku di piring. Tidak berselera lagi.
Emak juga selalu memprotes pakaianku yang selalu mengenakan rok panjang.
Wulan, kenapa pakai rok sih. Ribet. Sana ganti pakai celana
Yang pakai kan Wulan mak. Wulan merasa tidak ribet kok
Tapi nanti kita naik motor nduk, jalannya tidak lurus dan halus seperti dikota. Ini pegunungan yang terjal
“Wulan juga pakai daleman celana panjang kok mak”
“Kamu itu ya, selalu saja membantah apa kata emak. Emak sedih kalau kamu seperti ini terus”
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. hanya karena hal berpakaian aku dan emak selalu bertengkar. Beruntung, bapak tidak terlalu mempermasalahkannya. Bapak selalu mendukung apa yang aku lakukan selama itu baik.
Keesokan harinya aku harus kembali kekota, liburku sudah usai. Emak hanya terdiam melepas kepergianku.
“Celananya Wulan bawa mak, sampaikan terima kasih pada Yu Sari” ucapku. Berharap emak akan luluh dan memaafkan aku. Ia tersenyum. Kupeluk emak erat sekali. Aku sangat mengasihi wanita ini, rasanya tak ingin melepaskan pelukannya yang hangat. Aku merasakan hangat menjalar di pundakku. Emak menangis.
“Sudah nduk, nanti terlalu siang sampai di kota” ucap bapak menyadarkanku.
Ku lepas pelukan emak, ia hapus air matanya dengan kain lusuh yang dipakainya. Pagi itu aku menumpang mobil kang Sarno yang juga akan kekota mengirim kelapa. Menyusuri jalanan rabatan yang curam, sedikit saja menengok kebawah, yang terlihat ialah jurang. Siap menerkam kapan saja. sedikit ngeri aku membayangkan, namun aku percaya pada kang Sarno yang sudah mahir mengemudikan mobil pick Up-nya di jalanan seperti ini.
“Nggak usah takut mbak” ujar kang Sarno.
“Habisnya jalannya kayak gini kang, ngeri”
“Hehe ini sudah bagus mbak, karena sudah rabatan. Tidak licin kalau hujan”
“Iya juga sih, mungkin saya saja belum terbiasa kang”
Sampai di kota, ku keluarkan semua oleh-olehku, juga titipan emak pada Ibu kost. Itu yang membuat Ibu Kos senang denganku. 2 potong celana jeans itu juga turut ku keluarkan. Tak apa kubawa, meskipun tak akan pernah ku pakai. Demi Emak. Reni, teman sekamarku menghampiri.
“Wulan, ini punya kamu? Bagus banget? Eh tumben punya celana?”
“Iya. Dikasih sama teman emak”
“Beruntung banget, aku minta satu dong” ingin sekali memberikan semuanya pada Reni. Karena memang aku tak membutuhkannya.
“Jangan…”
“Ah, Wulan pelit sungut Reni. Reni mematut dirinya di depan cermin. Celana itu memang bagus. Dan aku ingat emak, kalau sampai tahu celana itu kuberikan pada Reni. Emak pasti sedih. Aku paling benci membuatnya sedih. Biarlah, menjadi penghuni lemari pakaianku. Sampai waktu tak tentu. (ak/sdmt)