Tugas Orang Tua: Siapkan Anak untuk Berpisah
Artikel ini adalah saduran dari tulisan Elly Risman, seorang Psikolog dan Konsultan. Inti dari tulisannya adalah orang tua jangan mainkan semua peran. Biarkan anak belajar. Karena tidak pernah tahu anak akan terlempar ke bagian bumi yang mana nantinya, maka izinkanlah anak untuk belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Orang tua bukanlah tim SAR dan anak Anda tidak dalam keadaan bahaya.
Jika bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, apa yang akan terjadi ketika bencana benar-benar datang? Begitu juga dengan seorang anak. Apabila anak terbiasa mendapatkan bantuan dari segala aktifitas yang sejatinya dia mampu melakukannya sendiri, anak pada akhirnya akan terbentuk menjadi manusia yang lemah. Karena tidak terlatih mengatasi suatu masalah sendiri. Sehingga ketika masalah itu benar-benar datang, sedangkan orang tua tidak akan selamanya bersama anak, maka anak akan kaget bahkan bisa mengakibatkan stress.
Sehingga penting untuk memberikan anak kesempatan menemukan solusi mereka sendiri. Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi merupakan ketrampilan/skill yang wajib dimiliki. Dan skill itu harus bisa dilatih untuk bisa terampil. Sebuah skill tidak akan muncul begitu saja, namun perlu proses panjang untuk membangunnya.
Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun kedepan. Bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi, tetapi juga lulus melewati ujian badai pernikahan dan kehidupannya kelak. Mungkin tampaknya saat ini sepele. Namun apa salahnya bantu anak untuk mempersiapkan mentalnya menghadapi masa depannya kelak.
Namun jika orang tua segera bergegas menyelamatkannya dari segala kesulitan, anak akan menjadi ringkih dan mudah layu. Merasakan sakit sedikit, langsung mengeluh. Bertengkar sedikit, meminta cerai. Mendapat masalah sedikit, menjadi gila. Jika orang tua menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan uang untuk IQ-nya, maka orang tua juga harus melakukan hal sama untuk AQ-nya.
AQ atau Adversity Quotient menurut Paul G. Stoltz merupakan kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. IQ adalah hal penting, namun AQ tak kalah penting perannya dalam menghadapi masalah sehari-hari. Perasaan ketika mampu melewati ujian bisa menimbulkan kenikmatan yang luar biasa. Bisa menyelesaikan masalah, mulai dari hal yang sederhana sampai yang sulit, akan membuat diri semakin percaya bahwa meminta pertolongan hanya dilakukan ketika seseorang benar-benar tidak sanggup lagi dalam menghadapi suatu permasalahan.
Jadi, Bapak dan Ibu izinkanlah anak Anda melewati kesulitan hidup. Tidak masalah jika anak mengalami sedikit luka, menangis, kecewa, telat, dan sedikit kehujanan. Berusahalah menahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan. Ajari anak menangani frustasi. Jika orang tua selalu menjadi malaikat penolong, apa yang akan terjadi pada anak jika Anda tidak bernapas lagi esok hari?! Bisa jadi anak Anda akan ikut mati.
Memang sulit untuk tidak mengintervensi ketika melihat anak sendiri mengalami kesusahan, sakit, dan sedih. Apalagi menjadi orang tua, insting pertama adalah melindungi.
Sehingga, melatih AQ anak adalah ujian sebagai orang tua. Tetapi orang tua juga harus menyadari bahwa hidup tidaklah mudah, masalah akan selalu ada. Dan anak harus bisa bertahan melewati hujan, badai, dan kesulitan yang kadang tidak bisa dihindari.
Untuk menghadapi itu, anak harus disiplin, mandiri, dan bertanggungjawab. Untuk membangun hal itu butuh perjuangan dan waktu yang tidak sebentar. Orang tua pasti akan merasakan lelah, namun dibayar dimuka jauh lebih ringan daripada harus dibayar dibelakang. Karena tugas setiap orang tua adalah mempersiapkan anak berpisah dari Anda.
Bapak dan Ibu, selamat berjuang untuk mencetak pribadi yang kokoh dan mandiri.