Pagu Dibatasi , KS SDMT Curhat Bupati Melalui Wartawan
- Posted by 4dmin
- Posted in BERITA SEKOLAH
SDMTPonorogo.com– Setelah menerima SK PPDB 2017 dari Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo yang disampaikan oleh Kepala UPTD Pendidikan Kec. Siman, Kepala SDMT didepan forum musyawarah kerja Dewan Guru SDMT menyampaikan kekecewaannya. Pasalnya, kuota siswa yang bisa diterima dibatasi hanya 112 siswa, padahal SDMT selalu menerima 125 siswa. Setelah menghubungi rekan sesama Kepala SD swasta yang juga merasa kecewa, KS SDMT, Ust Imam, menyampaikan curhatnya ke wartawan. Berikut berita yang dimuat koran Media Matraman ditulis ulang oleh SDMT Ponorogo.com :
Bupati Ponorogo sudah berganti. Namun pola-pola lama dalam kebijakan penerimaan peserta didik baru semakin tidak menentu. Kebijakan pemerintah Kabupaten Ponorogo terkait kuota peserta didik baru membuat geleng-geleng sekolah swasta.
Penetapan yang sering kali berubah dan terkesan mengintimidasi dengan mengancam menutup lembaga pendidikan menghantui sekolah swasta. Keluhan ini disampaikan Imam Saiful Bahri Kepala SD Muhammadiyah Terpadu (SDMT) Ponorogo, Senin (16/6/2017) lalu. Pihaknya sangat menyayangkan kebijakan dari Pemkab Ponorogo kurang mengakomodir sekolah swasta.
Dia mencontohkan, beberapa tahun silam, SDMT Ponorogo dibatasi menerima murid maksimal 64 siswa. Padahal sekolah kami punya standar menerima 125 siswa.
Sebutnya,”Tahun 2016 kemarin berubah lagi. Sekolahnya diberi tambahan kuota 160 siswa. Kami syukuri itu. Tapi kami tidak tergiur. SDMT tetap komit begitu menerima 125 siswa pendaftaran kami tutup. Sekalipun setelah itu datang belasan pendaftar, tetap tidak kami terima.”
Ternyata ganti tahun berubah lagi. Pada tahun 2017 ini, sekolahnya malah hanya diberi kuota 112 siswa saja.
Kalau sekolahnya mengikuti aturan ini dengan menerima murid 112 siswa pertahun akan merubah design standar sekolah, tata ruangnya, pembiayaan, dan yang terparah PHK guru-gurunya. Sebaliknya, kalau tetap nekad menerima murid sesuai standar internal sekolah, mendapat ancaman penutupan.
“Kan nggak lucu kalau nanti ada headline koran berbunyi sekolah swasta ditutup karena kebanyakan menerima murid,” ungkap Imam.
Di antara alasan yang mengemuka bahwa pembatasan kuota tersebut bertujuan untuk menanggulangi tidak meratanya murid di sekolah-sekolah pelosok di Ponorogo yang berimbas pada tidak meratanya jam sertifikasi guru-guru PNS.
“Ironis, bukan? Pemkab melalui Disdiknya membuat kebijakan menyelamatkan kesejahteraan PNS, tapi disisi lain mematikan penghidupan guru-guru swasta yang masih minim, UMR saja belum sampai. Ini dari kacamata kami. Mohon dimaklumi.” papar Imam.
Ketika ditanya tentang solusi apa yang ditawarkan, pria pecinta sate Ponorogo ini mengusulkan Pemkab Ponorogo dalam menetapkan kuota atau pagu penerimaan murid bisa melihat keadaan sekolah-sekolah swasta yang terimbas pemangkasan kuota. Sebab disana ada orang-orang yang butuh hidup, apalagi mereka adalah golongan masyarakat yang secara swadaya menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sekaligus menunjang program pemerintah mencerdaskan bangsa.
“Penetapan kuota yang bersifat memaksa ke sekolah-sekolah negeri itu monggo-lah, sebab Pemerintah sendiri yang menjamin kesejahteraan pegawainya. Lha kalau swasta kan tidak.” lanjut Imam.
Adapun maksud dari melihat keadaan sekolah-sekolah swasta dijelaskannya, Ya tolonglah ditanya sekolah-sekolah swasta itu berapa kuota yang diajukan. Tentunya disertai komitmen untuk tidak menambah lagi muridnya. Artinya akomodatif, yang membatasi kuota itu adalah komitmennya sendiri.” tandasnya.
Disinggung soal intimidasi Pemkab dalam hal ini Disdik, sebagai bentuk ketegasan atas pelanggaran penetapan pagu, maka Imam menjelaskan, Menurut saya, setiap pelanggaran itu memang perlu mendapat sanksi. Tapi harus proporsional. Artinya, kalau pelanggarannya itu nekad kelebihan menerima murid, ya dipangkas jumlah muridnya, bukan ditutup sekolahnya. Nggak lucu itu. Kalau toh kebijakan pembatasan kuota oleh Disdik ini senafas dan berdasar peraturan perundangan diatasnya, kan tinggal singkron database, itu Dapodiknya, dikunci jumlah kuota sekian sekian. Kan cukup.”
Mengakhiri wawancara tentang problematika menyusutnya jumlah murid di banyak sekolah dasar di pelosok Ponorogo itu, Kepala SDMT ini menyarankan pemerintah untuk mengkaji lebih jeli dengan membuat semacam penelitian apakah pangkal permasalahannya semata karena tumbuhnya sekolah-sekolah favorit ataukah populasi masyarakat yang menurun. Fenomena itu tentu juga harus dibaca sebagai peringatan sejauhmana sekolah-sekolah di Ponorogo ini mengembangkan diri, mengapa tidak terbuka melihat kenyataan bahwa kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama dan karakter terutama untuk tingkat dasar itu sangat tinggi.
Pemkab bisa membuat semacam program muatan lokal wajib lulusan SD/MI di Ponorogo harus mampu baca Alquran dan mampu ibadah praktis. Era otoda ini sangat memungkinkan bagi Pemkab meluncurkan program pendidikan semacam itu.
“Saya pikir cocok dengan visi Bupati untuk menjadikan Ponorogo lebih religius, plus semacam solusi alternatif menjawab program fullday school pemerintah pusat yang lagi booming. pungkasnya. (Repost Media Mataraman 19/06/17)
Bupati Ponorogo sudah berganti. Namun pola-pola lama dalam kebijakan penerimaan peserta didik baru semakin tidak menentu. Kebijakan pemerintah Kabupaten Ponorogo terkait kuota peserta didik baru membuat geleng-geleng sekolah swasta.
Penetapan yang sering kali berubah dan terkesan mengintimidasi dengan mengancam menutup lembaga pendidikan menghantui sekolah swasta. Keluhan ini disampaikan Imam Saiful Bahri Kepala SD Muhammadiyah Terpadu (SDMT) Ponorogo, Senin (16/6/2017) lalu. Pihaknya sangat menyayangkan kebijakan dari Pemkab Ponorogo kurang mengakomodir sekolah swasta.
Dia mencontohkan, beberapa tahun silam, SDMT Ponorogo dibatasi menerima murid maksimal 64 siswa. Padahal sekolah kami punya standar menerima 125 siswa.
Sebutnya,”Tahun 2016 kemarin berubah lagi. Sekolahnya diberi tambahan kuota 160 siswa. Kami syukuri itu. Tapi kami tidak tergiur. SDMT tetap komit begitu menerima 125 siswa pendaftaran kami tutup. Sekalipun setelah itu datang belasan pendaftar, tetap tidak kami terima.”
Ternyata ganti tahun berubah lagi. Pada tahun 2017 ini, sekolahnya malah hanya diberi kuota 112 siswa saja.
Kalau sekolahnya mengikuti aturan ini dengan menerima murid 112 siswa pertahun akan merubah design standar sekolah, tata ruangnya, pembiayaan, dan yang terparah PHK guru-gurunya. Sebaliknya, kalau tetap nekad menerima murid sesuai standar internal sekolah, mendapat ancaman penutupan.
“Kan nggak lucu kalau nanti ada headline koran berbunyi sekolah swasta ditutup karena kebanyakan menerima murid,” ungkap Imam.
Di antara alasan yang mengemuka bahwa pembatasan kuota tersebut bertujuan untuk menanggulangi tidak meratanya murid di sekolah-sekolah pelosok di Ponorogo yang berimbas pada tidak meratanya jam sertifikasi guru-guru PNS.
“Ironis, bukan? Pemkab melalui Disdiknya membuat kebijakan menyelamatkan kesejahteraan PNS, tapi disisi lain mematikan penghidupan guru-guru swasta yang masih minim, UMR saja belum sampai. Ini dari kacamata kami. Mohon dimaklumi.” papar Imam.
Ketika ditanya tentang solusi apa yang ditawarkan, pria pecinta sate Ponorogo ini mengusulkan Pemkab Ponorogo dalam menetapkan kuota atau pagu penerimaan murid bisa melihat keadaan sekolah-sekolah swasta yang terimbas pemangkasan kuota. Sebab disana ada orang-orang yang butuh hidup, apalagi mereka adalah golongan masyarakat yang secara swadaya menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sekaligus menunjang program pemerintah mencerdaskan bangsa.
“Penetapan kuota yang bersifat memaksa ke sekolah-sekolah negeri itu monggo-lah, sebab Pemerintah sendiri yang menjamin kesejahteraan pegawainya. Lha kalau swasta kan tidak.” lanjut Imam.
Adapun maksud dari melihat keadaan sekolah-sekolah swasta dijelaskannya, Ya tolonglah ditanya sekolah-sekolah swasta itu berapa kuota yang diajukan. Tentunya disertai komitmen untuk tidak menambah lagi muridnya. Artinya akomodatif, yang membatasi kuota itu adalah komitmennya sendiri.” tandasnya.
Disinggung soal intimidasi Pemkab dalam hal ini Disdik, sebagai bentuk ketegasan atas pelanggaran penetapan pagu, maka Imam menjelaskan, Menurut saya, setiap pelanggaran itu memang perlu mendapat sanksi. Tapi harus proporsional. Artinya, kalau pelanggarannya itu nekad kelebihan menerima murid, ya dipangkas jumlah muridnya, bukan ditutup sekolahnya. Nggak lucu itu. Kalau toh kebijakan pembatasan kuota oleh Disdik ini senafas dan berdasar peraturan perundangan diatasnya, kan tinggal singkron database, itu Dapodiknya, dikunci jumlah kuota sekian sekian. Kan cukup.”
Mengakhiri wawancara tentang problematika menyusutnya jumlah murid di banyak sekolah dasar di pelosok Ponorogo itu, Kepala SDMT ini menyarankan pemerintah untuk mengkaji lebih jeli dengan membuat semacam penelitian apakah pangkal permasalahannya semata karena tumbuhnya sekolah-sekolah favorit ataukah populasi masyarakat yang menurun. Fenomena itu tentu juga harus dibaca sebagai peringatan sejauhmana sekolah-sekolah di Ponorogo ini mengembangkan diri, mengapa tidak terbuka melihat kenyataan bahwa kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama dan karakter terutama untuk tingkat dasar itu sangat tinggi.
Pemkab bisa membuat semacam program muatan lokal wajib lulusan SD/MI di Ponorogo harus mampu baca Alquran dan mampu ibadah praktis. Era otoda ini sangat memungkinkan bagi Pemkab meluncurkan program pendidikan semacam itu.
“Saya pikir cocok dengan visi Bupati untuk menjadikan Ponorogo lebih religius, plus semacam solusi alternatif menjawab program fullday school pemerintah pusat yang lagi booming. pungkasnya. (Repost Media Mataraman 19/06/17)