Adab Memang Tak Seberat Akhlak, Tapi
Artikel – Gejala ini muncul dari anak muda sekarang? ataukah manusia zaman sekarang?
Ketika melihat kesalahan atau kelemahan dari perkataan dan sikap orang lain, dengan SANGAT spontan berucap,
“Bod*h banget sih lu, gitu aja kaga ngerti….”
dsb.
Apakah guru dan dosen di zaman ini hanya membanggakan dan mengapresiasi pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan aneka kompetensi sehingga memandang sepele adab, attitude, sikap diri?
Padahal pepatah bijak mengingatkan:
كل شيء اذا كثر رخص الا الادب
Segala sesuatu itu jika banyak jumlahnya (atau mudah dijumpai) maka nilainya menjadi murah. Kecuali Adab. Sebanyak apapun adab itu dipertontonkan orang, nilainya tetap tinggi.
Memang adab tidaklah seberat akhlak. Adab mungkin hanya berkaitan dengan sikap lahiriyah semacam kesopanan, cara bicara, cara memilih kata, sikap tubuh, ketaatan pada prosedur, hormat pada senior, dst.
Memang pelanggaran adab tidaklah dikutuk sebagaimana pelanggaran terhadap akhlaq, seperti korupsi, membunuh, berzina, dst.
Sehingga karena “gemas” terhadap pelanggaran akhlak seseorang, misalnya pejabat yang korupsi, kita sering lupa diri dengan adab kita. Dengan begitu mudahnya kita meluncurkan kata-kata makian, umpatan, kutukan, dst. Karena kita merasa kita hanya melanggar urusan adab, sedangkan yang kita maki adalah pelanggar akhlak.
Jangan salah. Adab itu tidak seremeh itu.
Lihat QS. Hujurot ayat 2, disitu jelas tertera bahwa hanya karena meninggikan suara di hadapan Rasulullah, maka amal (jasa, action, dst) yang telah diperbuat Sahabat bisa lenyap sia-sia tak bernilai.
Lihat pesan Luqman Al-Hakim kepada anaknya untuk jangan berteriak layaknya suara keledai. Alquran mengabadikannya.
Lihat Alquran menggambarkan sifat mukmin yang digelari “ibadurrahman” sebagai sosok manusia yang rendah hati penuh keadaban.
Tidak usah jauh-jauh. Siapakah yang diusir keluar dari ruangan oleh bos? Bawahan yang lambat menyelesaikan tugasnya; ataukah bawahan yang terampil tapi memaki bosnya?
*Imam S.B